Oleh: Yudi Latif

(Kompas, Jumat, 30 Desember 2016)

Dalam proses perubahan kebudayaan, kita bisa menengok pandangan Arnold Toynbee dalam A Study of History(1957), tentang pengaruh “radiasi budaya”. 

Menurut pandangannya, peradaban itu berlapis-lapis, dimulai dari teknologi di lapisan terluar, berturut-turut disusul oleh lapisan seni, lapisan etika, dan agama di lapisan terdalam. 

Kebudayaan yang lebih kuat akan meradiasi kebudayaan yang lebih lemah. Namun, pengaruhnya tak langsung masuk secara keseluruhan, tetapi secara parsial merembesi lapisan-lapisan budaya. Lapisan terluar (teknologi) merupakan lapisan paling mudah ditembus; makin ke dalam, makin sulit. Lapisan agama, jantung terdalam yang paling sulit ditembus. 

Meski demikian, pengaruh radiasi budaya berbanding terbalik dengan nilai kedalamannya. Bahwa kian tinggi teknologi sebuah peradaban, makin mudah meradiasikan lapisan-lapisan budaya lainnya terhadap peradaban lain. Dalam pelacakannya terhadap faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar dua puluhan peradaban, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan proses melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata, serangan terhadap pandangan dan etos keagamaan di jantung kebudayaan merupakan serangan paling berbahaya, yang bisa melumpuhkan daya hidup peradaban tersebut.

Selama berabad-abad, jantung spiritualitas Nusantara memiliki daya lenting yang luar biasa dalam menghadapi radiasi budaya dari luar. Proses indianisasi tidak melemahkan, malah memperkuat pandangan dunia iluminasionisme. Kehadiran Islam membawa perubahan penting dalam pandangan dunia dan etos masyarakat Nusantara, terutama, pada mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan konsepsi ‘kesetaraan’ dalam hubungan antarmanusia, konsepsi ‘pribadi’ (nafs, personne) yang mengarah pada pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah) yang ‘linear’, menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar (Lombard, 1996). 

Meski demikian, mental primordial itu terus terjaga melalui jaringan tarekat dan pesantren pedesaan.
Dalam Islam Observed (1968), Geertz melukiskan bahwa Iluminasionisme keagamaan yang bersifat sinkretik, dengan etosnya yang bersifat adaptif, gradualistik, estetik dan toleran itu bertahan setidaknya hingga awal abad ke-19. Sejak akhir abad ke-19, pandangan dan etos keberagamaan seperti itu mendapat gempuran dari “logosentrisme” yang bersumber dari dua arah: pertama modernitas Barat dengan logika Aristotelian dan rasionalitas instrumentalnya. Kedua dari skripturalisme keagamaan dari gerakan reformisme Islam, terutama yang bercorak Wahabiyah. Meski demikian, proses pembaratan itu ada batasnya. 

Menurut Denys Lombard (1996), di sana terlihat adanya dualitas “pemelukan” dan “penolakan”. Di satu sisi, ada elemen yang terbaratkan. Di sisi lain ada proses kembali ke sumber-sumber ke-“timur”-an. “Pengambilan kata-kata Barat, seperti revolusi, nasionalisme, demokrasi, belum berarti bahwa sungguh terjadi pembaratan mentalitas Jawa lewat konsep-konsep tersebut.” Karena, di sisi lain, ada pula proses pribumisasi modernitas, seperti dalam penemuan konsepsi Pancasila serta pemahlawanan tokoh-tokoh berbagai elemen bangsa.

Respons Islam sendiri dalam menghadapi tantangan modernitas bersifat dinamis. Di satu satu, ada gerakan yang melakukan pengambilan secara selektif (appropriation) terhadap unsur-unsur sains-teknologi dan seni dari Barat, seperti dikembangkan oleh Muhammadiyah. Di sisi lain, ada gerakan otentisasi (authenticisation), dengan berpaling pada tradisi-tradisi keagamaan lokal sebagai bentuk resistensi terhadap serangan modernitas, seperti yang ditempuh oleh Nahdlatul Ulama.

Alhasil, sehebat apa pun gempuran modernisme dan skripturalisme, kontinuitas pandangan dan etos religi Nusantara masih bisa dipertahankan. Geertz (1981) menyimpulkan bahwa karena peran ulama sebagai pialang budaya, pengaruh reformisme Islam dari Timur Tengah itu masih bisa diseleksi, disesuaikan dengan konteks lokal, sehingga ketahanan mental primordial Nusantara yang bersifat adaptif, menyerap, gradualistis, dan kompromistis masih bisa bertahan. Radiasi reformisme keagamaan dalam perkembangannya tak mengarah kepada kedalaman pemurnian (force), tetapi perluasan (scope). (BERSAMBUNG)

(YUDI LATIF, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)

17 respons untuk ‘Serangan Jantung Budaya (2)

  1. hello there and thank you for your information – I’ve certainly
    picked up something new from right here. I did however expertise some technical
    issues using this web site, since I experienced to reload the website a lot
    of times previous to I could get it to load correctly.
    I had been wondering if your web host is OK? Not that I am complaining,
    but slow loading instances times will sometimes affect
    your placement in google and can damage your quality score if ads and marketing with Adwords.
    Anyway I am adding this RSS to my email and could look out
    for a lot more of your respective interesting content.

    Make sure you update this again very soon.

    Suka

  2. Hey I know this is off topic but I was wondering if you knew of any widgets I could add to my blog that automatically tweet my
    newest twitter updates. I’ve been looking for a plug-in like this for quite some time and was hoping
    maybe you would have some experience with something like this.
    Please let me know if you run into anything. I truly enjoy reading your blog
    and I look forward to your new updates.

    Suka

  3. A short while ago while was indeed watching youtube We seen business
    in regard to Serangan Jantung Budaya (2). Even So I didn’t determine
    what it truly is. To believe in that you simply provide me much more
    information with this concept, remember to?

    Suka

  4. Thanks for the marvelous posting! I seriously enjoyed reading it, you’re a great
    author.I will ensure that I bookmark your blog and will come back in the foreseeable future.
    I want to encourage yourself to continue your great writing,
    have a nice morning!

    Suka

  5. I love your blog.. very nice colors & theme. Did you create
    this website yourself or did you hire someone to do it for you?
    Plz answer back as I’m looking to create
    my own blog and would like to find out where u got this from.
    thank you

    Suka

    • this is a community blog, the colors and theme made by administrator. The content of Kawula Mahardhika is from various resource and corespondency. The content is a result and review of a discussion on my country. Leaders, students, politicians, scientis and artists is envolving in the contents. So it’s not originally mine, for your information the effects to our youngster is dearly great and we are optimist with our country future. Thank you for visiting and noticing, be free to ask any question or put an opinion on any article, we like to hear from you too. Keep healthy and don’t forget to take vacation, cheers 😀

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.